Pengakuan Kadaluarsa Untuk Tahun 5
Fizi Faoziah
April 22, 2018
0 Comments
Ketika ketidakmampuanku membaca pertanda.
Ketika sabit bulan, tak lebih tajam daru hujam kenangan.
Dan rindu, harus kupungut sepanjang jalan.
Apa kabarmu?
Hari ini aku khususkan untuk menuliskannya untukmu, karena mungkin banyak yang mengabaikanmu meski kamu begitu berarti dalam hidup. Aku pun salah satu yang mengabaikanmu, mementingkan segala hal tentangku hingga melupakanmu dengan begitu.
Hingga pada akhirnya semua rasa mengendap. Kini, mengertikah engkau bahwa aku ada walaupun bagimu aku hilang?
Saat menulis surat ini, mungkin aku sedang menempuh perjalanan.
Perjalanan untuk melarikan diri. Aku bukan pengecut yang hanya berlari tanpa menghadapi, tapi memang belum waktunya untuk aku hadapi. Kata orang, selama hidupnya, manusia akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang mimpi, tentang asa yang kita simpan dalam hati. Itulah mungkin mengapa aku menyebutnya perjalanan mencari jati diri. Begitu katamu pula? Kamu selalu memberi jawaban akan sebuah pencarian jati dirimu. Selalu. Atau mungkin kamu adalah satu kawanan pencari jati diri. Begitu banyak pertanyaan hadir dalam benakmu, tapi aku sendiri hanya bisa melihatmu yang sedang berputar dalam labirin otak.
Sudah lama berlalu, tepatnya 5 tahun yang lalu, sejak pertemuan terakhir di jalanan siang itu dan aku masih berkutat dengan bermacam cara untuk menghapusmu dari pikiranku. Aku pasrah sambil berharap segera lupa dengan menyibukan pikiran hingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal lainnya. Berhasil. Aku lupa, tapi hatiku buta. Iya. Aku salah memilih di tengah perjalanan. Hatiku buta. Seperti anyaman tunggal yang jika sendiri merasa nyaman.
Lagi-lagi banyak pertanyaan di kepala, kepalaku ini rumit, tapi apakah kamu mampu menerjemahkannya? Tentang malam dan bintang-bintang pemalu, tentang keterasingan kita pada masa lalu. Masa yang tak pernah mampu kita tuju tapi pahitnya masih jelas kita kecap. Seluruh isi kepala kita yang bahkan belum sepenuhnya kita jelajahi, kita tak pernah tahu apa yang kita mau. Kamu tahu, aku rindu bagaimana kita menghabiskan setiap hari bersama lewat canda pada bangunan tua sekolah itu. Ada butir-butir rindu yang menetes lebih deras dari hujan yang membasahi teras taman sekolah. Hingga pada saatnya tiba pertemuan terakhir, kita saling mengembalikan hati masing-masing saat perpisahan. Berjalanan berlawanan arah dengan harapan ada kebahagiaan yang kita temui dibalik sana. Kemudian saling menguatkan diri bahwa kita bisa dan biasa melewati segalanya sendiri, meyakinkan diri bahwa kita sudah semestinya bahagia namun tidak bersama. Tapi nyatanya? Logikaku patah. Tidak pernah melakukan apa-apa untuk laki-laki mungil yang bagiku adalah segalanya. Hari ini aku menatap angkasa, melayangkan lamunanku disana. Ternyata tidak ada yang perlu dicari, jawabannya ada disini, di dalam hatiku sendiri. Pantas saja aku tidak pernah menemukannya, aku hanya mencari diluar sana tanpa pernah menengok hati yang sengaja ku buat ini. Sirna, hingga kini yang tersisa adalah tiada.
Untuk laki-laki gagah "Pratama" yang kuinginkan, bahagia menatapmu walau engkau tak pernah sadar bahwa aku menikmati indahnya senyummu. Aku menyesal. Harusnya aku tidak mengabaikanmu. Sejatinya, kamu mengajarkan banyak hal padaku. Tentang sebuah kerendahan hati dan keikhlasan yang sulit sekali dituntaskan dalam kehidupan ini, selama ini. Mungkin itu juga yang membuatmu sulit dipahami dan dimengerti. Tapi percayalah, aku belajar banyak darimu. Aku belajar memaknai hidup, belajar tentang bagaimana merendahkan hati tanpa merendahkan diri, belajar menerima. Bukankah itu yang paling penting? Menerima apapun dengan kelapangan dada. Sulit sudah pasti, memang tak ada yang mudah menjalani hidup ini. Tapi kamu adalah warna, bahwa segalanya tetap akan baik-baik saja meski tidak sempurna. Dan itulah letak kesempurnaan manusia, menyadari dirinya tak sempurna.
Kini aku sudah paham maksudmu tentang masalah yang harus dihadapi, aku memang harus menghadapimu sebagai masa lalu yang telah usai bukan masa depan terbingkai, begitu pula katamu (mungkin). Aku lupa bahwa cinta pun ada masanya, dan karena cinta ini telah kadaluarsa sudah waktunya bagiku untuk melepaskannya. Daripada harus mati berkalang cinta kadaluarsa. Namun debar ini adalah debur ombak yang akan berubah mengikuti angin. Sedangkan hati adalah suar yang membutuhkan cahaya. Dan kehilangan adalah kepergian tanpa kata-kata. Seperti aku, kita dan hal-hal yang kita pasrahkan pada kelak nanti. Tapi tahukah kamu, aku sedang berputar dalam labirin rasa. Tidak tahu ingin kemana, tidak tahu ujungnya mana. Namun jika boleh aku meminta, tunggu aku di ujung jalan sana. Beri aku kesempatan. Aku akan segera tiba. Pada suatu malam, saat kamu melihat sepasang kunang-kunang terbang ituah tanda bahwa aku pulang. Terimakasih dan maaf. Cukup kiranya suratku, terimakasih atas pembelajaran tentang menerima dan mengakui.
"Butuh kerendahan hati untuk meminta maaf dan kebesaran hati untuk memaafkan."
dari,
Aku yang salah - 5 tahun lalu.
Kita memang tak mampu mengulang waktu, tapi karenamu aku semakin bijak memanfaatkan ingatan untuk setidaknya merekamnya (dalam-dalam) dalam kepala. Aku senang, semoga kamu pun begitu.
Untuk laki-laki gagah "Pratama" yang kuinginkan, bahagia menatapmu walau engkau tak pernah sadar bahwa aku menikmati indahnya senyummu. Aku menyesal. Harusnya aku tidak mengabaikanmu. Sejatinya, kamu mengajarkan banyak hal padaku. Tentang sebuah kerendahan hati dan keikhlasan yang sulit sekali dituntaskan dalam kehidupan ini, selama ini. Mungkin itu juga yang membuatmu sulit dipahami dan dimengerti. Tapi percayalah, aku belajar banyak darimu. Aku belajar memaknai hidup, belajar tentang bagaimana merendahkan hati tanpa merendahkan diri, belajar menerima. Bukankah itu yang paling penting? Menerima apapun dengan kelapangan dada. Sulit sudah pasti, memang tak ada yang mudah menjalani hidup ini. Tapi kamu adalah warna, bahwa segalanya tetap akan baik-baik saja meski tidak sempurna. Dan itulah letak kesempurnaan manusia, menyadari dirinya tak sempurna.
Kini aku sudah paham maksudmu tentang masalah yang harus dihadapi, aku memang harus menghadapimu sebagai masa lalu yang telah usai bukan masa depan terbingkai, begitu pula katamu (mungkin). Aku lupa bahwa cinta pun ada masanya, dan karena cinta ini telah kadaluarsa sudah waktunya bagiku untuk melepaskannya. Daripada harus mati berkalang cinta kadaluarsa. Namun debar ini adalah debur ombak yang akan berubah mengikuti angin. Sedangkan hati adalah suar yang membutuhkan cahaya. Dan kehilangan adalah kepergian tanpa kata-kata. Seperti aku, kita dan hal-hal yang kita pasrahkan pada kelak nanti. Tapi tahukah kamu, aku sedang berputar dalam labirin rasa. Tidak tahu ingin kemana, tidak tahu ujungnya mana. Namun jika boleh aku meminta, tunggu aku di ujung jalan sana. Beri aku kesempatan. Aku akan segera tiba. Pada suatu malam, saat kamu melihat sepasang kunang-kunang terbang ituah tanda bahwa aku pulang. Terimakasih dan maaf. Cukup kiranya suratku, terimakasih atas pembelajaran tentang menerima dan mengakui.
"Butuh kerendahan hati untuk meminta maaf dan kebesaran hati untuk memaafkan."
dari,
Aku yang salah - 5 tahun lalu.
Kita memang tak mampu mengulang waktu, tapi karenamu aku semakin bijak memanfaatkan ingatan untuk setidaknya merekamnya (dalam-dalam) dalam kepala. Aku senang, semoga kamu pun begitu.