Kamu, duduklah dengan tenang. Aku tidak akan datang untuk sekedar mengingatkan yang sudah pernah Kamu katakan. Aku datang, untuk memastikan sesuatu; masihkah kau berdiam disana, di sebuah petak yang tidak pernah aku sewakan pada siapa pun, sekalipun kosong? Telah ku jatuhkan sedih yang mengembun. Sesak kemarin malam, mungkin masih ada hingga aku menghisap pelan udara sejuk pagi ini. Namun, semuanya memang harus aku lepaskan, tak apa pelan-pelan, seperti napas yang ku buang dengan hitungan satu sampai delapan. Mungkin ada sedikit perasaan lega ketika aku bisa mengendalikan diri untuk tidak mengganggumu akhir-akhir ini. Dengan melihatmu baik tanpa gangguanku, udara rasanya juga mengalir baik di paru-paru. Kamu dimana kah, saat aku masih menggengam dan percaya pada “Kita”?Mendengar pengakuanmu saat itu, seketika meleburlah banyak aku. Hingga aku tak punya bahasa lain selain bisu. Dingin? Tentu saja. Hampa? Sayangnya iya.
Dan kini, segalanya tidak akan pernah sama ketika percakapan itu muncul di antara kita.Aku tahu. Tapi tak perlu rasanya memberitahumu. Biar saja sesuatu yang kamu pikir rahasia itu, tetap jadi rahasia juga bagiku. Anggap saja begitu. Yang sudah terlanjur kau simpan, simpan saja. Jika ingin membuangnya, buang saja. Dan lagi, aku kehilangan. Dua mataku yang berkaca-kaca, tak mampu menyisir tebalnya hawa dingin milik hatimu untukku yang setengahnya sudah kamu bunuh mati. Malam di bulan ke tiga, berat hati aku katakan, aku kehilanganmu. Dingin, memang belum genap membawamu pergi ketika itu, tapi beku sudah kepalang memalang kakiku untuk tak menahanmu berlalu. Aku merasa cukup dengan macam-macam kekhawatiran yang bebannya, istimewa; membuat banyak air mataku keluar tanpa sandiwara. Aku ingin lebih sehat. Ingin lebih membebaskan hati yang aku punyai satu-satunya ini dari serbuan pisau tajam, bermata runcing, bernama khawatir dan penasaran.
Teruntukmu, baik hati yang kadang membuat aku lelah hingga seperti gila sendiri, menyayangimu aku sudah terbiasa dengan segala yang berat-berat. Benar katamu, kita sudah rumit, tak perlu membuatnya semakin rumit. Maka, aku tak akan dan tak ingin lagi membuatnya rumit. Akan kubiarkan, hatimu bebas, hatiku bebas.Akan kukhidmati sayang ini dengan lebih rapi.Tak lagi ingin terlalu banyak permintaan itu dan ini. Kelak, jika kita adalah benar rumah bagi masing-masing, aku percaya, raga dan jiwa kita, hati dan pikiran kita, adalah tempat pulang bagi masing-masing.Tempat peraduan paling nyaman dan tak akan lagi tergantikan.
Maaf, untuk saat ini. Mungkin di matamu kini, aku sedingin ini. Ini bukan aku, kamu tahu. Ini bukan aku yang aku mau. Ini aku yang lain. Yang hanya pada lampu kamar kutunjukkan rupanya. Yang hanya pada gelap kukenalkan dirinya. Ini aku yang lain. Aku tidak tahu, mana yang sesungguhnya baik. Kita yang seperti ini, atau kita di beberapa waktu lalu. Keputusanmu, adalah apa pun yang sudah kamu rasa dan pikirkan. Baik atau tidak untukku, sudah menjadi bagianku. Pada akhirnya, aku memang lebih butuh sesuatu yang lahir dari hati dan kepalamu.
Maaf, untuk kali ini. Jika selama ini ternyata aku tak pernah membuatmu jatuh cinta, tak apa. Itu bukan sesuatu yang aku sesali. Aku lebih menyesali diriku sendiri yang sesukanya percaya diri. Tugasku sekarang, bersiap untuk kehilanganmu. Bukan tidak mau memperjuangkan seperti katamu bilang. Tapi karena menurutku melepaskan juga sebuah perjuangan. Terlalu besar kepala jika kukatakan, tak akan kamu temui lagi wanita sepertiku. Tapi, yang pasti, hanya padaku kamu akan menemukan aku.Kucukupkan syukur dan bahagiaku atas keberadaan dirimu di hadapanku selama ini. Aku mungkin kecewa, tapi tidak jika untuk membencimu. Hatimu adalah urusanmu, bukan urusanku. Bukan sesuatu yang bisa aku atur-atur semauku. Dan pada akhirnya hanya satu sebab yang perlu kamu tahu, karena cinta lah, maaf selalu mampu diberikan.
No comments:
Post a Comment